Bayangkan jika yang menjadi korban adalah anak Anda. Awalnya, anak-anak itu sakit batuk pilek. Kebanyakan orangtua akan memberikan obat sirop yang biasa diminum. Selain rasa manisnya menyamarkan pahit, obat sirop juga mudah didapatkan di toko obat, bahkan minimarket terdekat.
Sebagian anak-anak itu sembuh batuk pileknya, tetapi kemudian mengalami demam dan mulai kehilangan nafsu makan. Sebagian anak mulai mual dan muntah atau bahkan diare. Selang beberapa lama, mereka mulai tidak bisa buang air kecil, yang menandai gangguan ginjal akut (acute kidney injury).
Jika tak segera ditangani, sistem saraf pusat mulai macet. Kelumpuhan menyebar, membuat sulit bernapas, dan dalam hitungan jam hingga hari, anak-anak itu meninggal.
Bagaimana dengan pencegahan dan fungsi pengawasan yang seharusnya dijalankan pemerintah?
Betapa pedihnya. Orangtua yang awalnya ingin mengobati anak-anak menggunakan obat-obatan yang memiliki izin edar resmi ternyata berujung maut. Itulah yang dialami ratusan orangtua di Indonesia saat ini.
Hingga Selasa (25/10/2022), sebanyak 255 anak di 26 provinsi terdeteksi mengalami gangguan ginjal akut. Sebanyak 143 kasus di antaranya meninggal atau tingkat kematiannya mencapai 56 persen. Mayoritas korban adalah anak-anak di bawah lima tahun.
Kementerian Kesehatan telah memastikan gangguan ginjal akut ini disebabkan cemaran zat kimia etilen glikol (EG ) dan dietilen glikol (DEG) pada obat sirop. ”Hasilnya, kami simpulkan penyebabnya adalah obat-obat kimia yang merupakan cemaran dari pelarut obat itu,” ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (24/10/2022).
Keterangan Budi ini sekaligus menepis kemungkinan penyebab lain, baik oleh infeksi Covid-19, vaksin Covid-19, maupun vaksin rutin. Kemenkes juga merilis daftar 102 obat yang memiliki riwayat dikonsumsi pasien gangguan ginjal di Indonesia.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) kemudian melakukan sejumlah pengujian. Hasilnya, dari 102 obat itu, 30 obat dinyatakan tidak mengandung cemaran EG dan DEG. Sementara tiga produk mengandung EG dan DEG melebihi ambang batas aman. Ketiga produk ini termasuk dalam lima produk yang telah dirilis Badan POM pada 20 Oktober 2022 sebelumnya, sedangkan 69 produk sisanya masih dalam pengujian.
Menurut keterangan resmi Badan POM, cemaran EG dan DEG diduga berasal dari penggunaan pelarut propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol. Keempat pelarut ini tidak dilarang selama proses produksi terjaga dari cemaran EG dan DEG berlebihan. Standar ambang batas maksimal yang diperbolehkan untuk EG dan DEG sebesar 0,5 miligram per kilogram berat badan per hari.
Kepala Badan POM Penny K Lukito mengatakan akan memidanakan industri farmasi yang menggunakan EG dan DEG melebihi ambang ini. ”Dalam proses ini kami sudah mendapatkan dua industri (perusahaan) farmasi yang akan kami tindak lanjuti menjadi pidana,” ujarnya.
Industri yang memproduksi dan menjual obat-obatan pemicu gangguan ginjal akut pada anak-anak ini memang patut dipidanakan. Namun, bagaimana dengan pencegahan dan fungsi pengawasan yang seharusnya dijalankan pemerintah?
Kasus berulang
Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukkan, kasus gangguan ginjal akut pada anak sebenarnya mulai terlihat sejak Januari 2022 dengan dua kasus. Menurut pengakuan Menkes Budi Gunadi, pihaknya sebenarnya telah mengamati kasus ini ketika ada lonjakan pada Agustus 2022. Namun, awalnya pemerintah menduga kasus itu melonjak akibat virus, bakteri, atau parasit.
Hingga 5 Oktober 2022, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ”membunyikan alarm” pada empat obat batuk sirop yang diproduksi di India, dengan alasan adanya ”DEG dan EG dalam jumlah yang tidak dapat diterima sebagai kontaminan” yang diduga menyebabkan gangguan ginjal akut dan menewaskan 66 anak di Gambia. Data terbaru, jumlah korban jiwa di Gambia mencapai 70 anak.
Tak hanya di Indonesia dan Gambia, sejak 1990-an, beberapa keracunan massal dari obat batuk sirop beracun berulang terjadi, di antaranya di Panama, China, Haiti, Bangladesh, Argentina, Nigeria, dan India. Para peneliti memperkirakan ribuan orang meninggal. Dalam banyak kasus, asal racun yang tepat tidak pernah ditentukan.
Menurut catatan Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi Tjandra Yoga Aditama, setidaknya India sudah lima kali mengalami kejadian gangguan ginjal akut yang dihubungkan dengan obat sirop yang tercemar DEG atau EG pada 1972-2020 dan menyebabkan lebih dari 80 kematian (Kompas, 24/10/2022).
Pada umumnya kasus-kasus keracunan ini terjadi karena bahan pelarut rasa manis dalam obat batuk sirop, gliserin (gliserol), diganti dengan DEG dan EG yang lebih murah untuk aplikasi industri. Namun, DEG dan EG bersifat nefrotoksik dan dapat menyebabkan sindrom disfungsi organ multipel (MODS), terutama pada anak-anak.
Seperti di Panama pada 2007, sering kali pemalsuan ini bisa terjadi sejak di pabrik yang mengekspornya. Laporan The New York Times (4 Maret 2015) menyebutkan, tragedi keracunan obat batuk sirop di Panama pada 2007 menewaskan 365 orang. Investigasi menemukan, bahan-bahan obat DEG ini diimpor dari China yang disamarkan sebagai TD glycerine atau ”pengganti gliserin” dengan keterangan 99,5 persen gliserin murni.
Sementara itu, di Bangladesh, para penyelidik menemukan racun dalam tujuh merek obat demam pada 1992. Kasus ini terungkap setelah laboratorium di Inggris mendeteksi kontaminasi EG dan DEG setelah Michael L Bennish, seorang dokter anak, menyelundupkan sampel sirop tercemar itu ke luar negeri dalam sebuah koper.
Bennish kemudian menyelidiki epidemi Bangladesh dan menulis artikel di British Medical Journal. Disebutkan bahwa mengingat jumlah obat yang didistribusikan, kematian ”pasti ribuan atau puluhan ribu”. Dokter mungkin tidak mencurigai obat beracun, terutama di negara-negara miskin dengan sumber daya terbatas di mana kebanyakan orang yang meninggal tidak datang ke fasilitas medis.
Kasus yang berulang dan terkadang tersamarkan ini menyebabkan banyak negara maju, misalnya Amerika Serikat melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA), sejak satu dekade lalu memperingatkan pembuat dan pemasok obat di negara itu ”untuk sangat waspada” dalam mengawasi dietilen glikol. Mereka meminta agar semua pengiriman gliserin diuji untuk dietilen glikol.
Jadi, dalam hal ini, pengawasan dari otoritas menjadi kunci untuk melindungi masyarakatnya, terutama anak-anak, dari obat-obatan yang bisa beracun ini.
sumber: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2022/10/25/obat-beracun-untuk-anak
0 komentar:
Posting Komentar